2021年03月23日 (火)
Karya Tari Srimpi “Catur Sagotro” yang Lahir di Jakarta Pada Tahun 1970-an dan Perkembangan Makna
Saya menulis catatan ini berdasarkan pada wawancara kepada Bapak KP Sulistyo Tirtokusumo.
“Srimpi Catur Sagotro”, sebuah karya tari Jawa yang ditarikan oleh 4 orang penari perempuan, diciptakan oleh Sulistyo Tirtokusumo di Jakarta sebagai karya pertama pada tahun 1973 waktu beliau berusia 20 tahun.
Foto 1: Busana "Catur Sagotro" yang dirancang oleh Iwan Tirta

foto: GELAR
1. Koreografer
Sulistyo Tirtokusumo lahir di Surakarta pada tahun 1953. Sejak kecil beliau berguru tari kepada RM Wignyohambekso, kemudian RT Kusumokesowo dari tahun 1969 sampai tahun 1971. Di bawah RT Kusumokesowo, beliau memeran tokoh Rama di dalam Ramayana Ballet (yang dimulai pada tahun 1961) dan terlibat dalam Festival Ramayana Nasional di Prambanan (1970) kemudian Festival Ramayana Internasional di Pandaan, Jawa Timur (1971). Pada tahun 1971 beliau pindah ke Jakarta untuk mengambil kuliah. Di Jakarta, beliau aktif menari sebagai penari putra alus sekaligus melatih tari di sanggar Bharawidya yang dikelola oleh kakaknya; Keliek Sukajadi.
Beliau menghasilkan berbagai karya tari tradisi maupun kontemporer. Karya bentuk tradisi yang populer adalah, srimpi “Catur Sagotro” (1973), bedhaya “Kirono Ratih” (1981) yang dipentaskan untuk pertama kali dengan judul “Renggo Puspito”, dan bedhaya “Suryasumirat” (1990) yang pertama kali dipersembahkan di Puro Mangkunegaran dalam pernikahan agung K.G.P.A.A Mangkunegara IX, dsb.
2. Konsep Karya “Catur Sagotro”
”Catur Sagotro” berarti empat serumpun. Judul tersebut diambil dari nama acara pertunjukan & pameran yang disaksikan oleh Sulistyo di Pagelaran di Keraton Yogyakarta pada tahun 1970. Acara tersebut dilaksanakan secara giliran oleh 4 keraton Jawa, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Jelas sekali nama acara tersebut melambangkan kesatuan 4 kraton keturunan kerajaan Mataram. 4 keraton tersebut mengeluarkan tarian yang memiliki gayanya masing-masing. Hal itu menkagetkan beliau karena beliau belum pernah melihat tarian yang berbeda dengan gaya Kasunanan.
Suatu hari pada tahun 1973, saat beliau dengar “Ldr. Mijil Wigarintyas”, di benak beliau muncul pemandangan acara 3 tahun lalu sekaligus ide untuk menyusun tari srimpi dengan gerakan dari keempat gaya keraton; yang bukan sekedar mosaik atau tambal-tambalan tetapi yang terpadu. Demikian dihasilkan karya “Catur Sagotro”.
3. Latar Belakang Berkarya
Sulistyo menghasilkan karya ini karena ada kebutuhan serta kesempatan. Beliau ingin menambah repertoire tari putri ―karena hampir semua murid tari Jawa merupakan perempuan―, memiliki karya original sekaligus meningkatkan kualitas kepenarian supaya sanggarnya bisa dapat lebih banyak kesempatan pentas. Restoran Ramayana di dalam Hotel Indonesia, tempat sangar-sanggar tari tradisi Jawa bersaing di Jakarta pada tahun 1970-an, yang meminta sanggar-sanggar untuk menampilkan karya tari setiap malam Minggu secara giliran. Bharawidya juga dapat jatah kurang-lebih sebulan sekali. Di situlah karya “Catur Sagotro” dipentaskan untuk pertama kali dan direvisi untuk seterusnya.
Apa yang mengherankan saya adalah Sulistyo menghasilkan karya yang berbentuk srimpi seawal tahun 1973, karena pada tahun 1969/1970, Keraton Surakarta baru mengizinkan masyarakat umum untuk mempelajari tari srimpi dan bedhaya yang dimiliki keraton Surakarta(*1) atas permohonan proyek nasional yang disebut PKJT=Pusat Kesenian Jawa Tengah. PKJT menggali dan menghasilkan 1 pemadatan tari bedhaya dan 5 pemadatan tari srimpi antara tahun 1969 dan 1972(*2), sedangkan tidak menghasilkan karya baru sampai tahun 1972(*3). Srimpi baru tidak dihasilkan oleh PKJT tetapi oleh penerusnya; “Srimpi Manggala Retna” (1983)(*4) oleh Pak Ngaliman kemudian “Srimpi Jayaningsih” (1992) oleh Sunarno Purwolelono(*5).
Sekitar tahun 1973, Sulistyo yang tinggal di Jakarta sempat belajar kedua tari srimpi; “Srimpi Sangupati” dan “Srimpi Ludira Madura” dalam versi pemadatan PKJT dari teman di Surakarta, tetapi belum berguru pada Ibu Laksmintorukmi dan Pak Ngaliman dari Solo. Hal-hal yang tersebut di atas menunjukkan bahwa menciptakan karya tari baru yang berbentuk srimpi (maupun bedhaya) bukan hal yang biasa sampai sekarang dan Sulistyo berkarya tanpa pengaruh dari nara sumber yang besar apalagi di luar lingkungan PKJT. Dengan kata lain, pada tahun 1970an, “Catur Sagotro” merupakan karya terkemuka di bidang tari srimpi dan bedhaya.
Dalam proyek PKJT, tari keraton yang berdurasi sekitar 1 jam dalam versi asli dipadatkan menjadi kurang lebih 15 menit supaya bisa dipentaskan dalam berbagai kesempatan. Selain itu, tempo yang dipercepat dan dinamika yang ditambahkan ke musik serta gerak supaya bisa memikat perhatian kaum pemuda. Tari “Catur Sagotro”, yang lahir di kota metropolitan sebagai seni pertunjukan, berkembang menuju klimaks dengan tempo cepat selaras dengan kecenderungan yang ada dalam masa PKJT/tahun 1970an.
*1 kecuali tari Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan dalam upacara penobatan raja serta peringatan penobatan raja
*2 Bedhaya Pangkur (1969), Srimpi Anglir Mendhung (1969), Srimpi Ludira Madura (1970), Srimpi Gondokusumo (1970), Srimpi Sangupati (1971), dan Srimpi Sukarsih (1972)
*3 Bedhaya Ela-Ela (1972)
*2&*3 Tasman, A.Ronoatmodho. 1995. Bedhaya Ela-Ela. STSI Press Surakarta.
*4 “This dance, Serimpi Manggala Retna, was created in 1973 and revised and perfected in 1983.”
Prihatini, Nanik Sri. 2017. “The Role of Aesthetic Authority in the Surakarta Style Serimpi Dance”. Asian Journal of Social Sciences & Humanities. Vol. 6(4).p.1
*5 [Prihartini 2017: 12]
4. Koreografi
Sulistyo kelahiran Surakarta berdasarkan pada gaya tari serta karawitan dari keraton Surakarta. Empat orang penari wanita membawa dadap (semacam tameng) di tangan kiri dan memakai cundrik (keris, badik) di depan puser. Di Keraton Surakarta pernah ada tari putri yang membawa dadap;“Bedhaya Kabor”, tetapi sudah punah.
Susunan iringan tari adalah sebagai berikut. Maju beksan dengan ①ladrang laras pelog “Gati Langen Bronto” (musik instrumental, 2 menit), pada waktu mana penari masuk dan duduk di lantai. Bagian beksan (=tari) dimulai dengan ②ketawang “Mijil Wigaringtyas” (musik vokal, 5.5 menit) dan dilanjutkan ③srepeg “Kemuda” untuk adegan perang sampai duduk jengkeng (4.5 menit). Waktu ④pathetan dimulai, penari kembali ke tempat semula dengan laku dodok(=berjalan jongkok) (1 menit). Musik untuk mundur beksan sama dengan yang untuk maju beksan =① (2 menit), pada waktu mana penari berdiri dan mundur.
Musik ① dan ② digunakan untuk “Bedhaya Bedah Madiun” di Puro Mangkunegaran. Sulistyo belum dapat menonton waktu itu, tetapi pernah mendengarkan rekaman musiknya. Mengenai musik ②, beliau cukup kenal karena Ibu Retna Maruti sering menembangnya dalam karya tari sendiri.
Seirama dengan suara snare drum yang ditambahkan ke musik maju beksan (①) sesuai dengan kebiasaan di Keraton Yogyakarta, empat orang penari keluar seperti mars tentara dengan gagahnya, membawa dadap di tangan kanan pada ketinggian bahu, dan memegang kain samparan di tangan kanan seperti dilakukan dalam tari Srimpi Anglirmendhung di Pura Mangkunegaran.
Dengan buka musik ②, seorang penari yang paling depan berdiri dan menarikan serangkaian gerak yang diambil dari “Srimpi Anglirmendhung”, disusul tiga orang penari yang berdiri. Pada musik ②, gerakannya lembut, luwes dan sangat gaya Surakarta, namun ada beberapa unsur baru dalam koreografinya. Satu contoh di dalam “Catur Sagotro”; sekaran pendapan (nama serangkaian gerak) ditarikan dengan musik ② di bagian depan sebelum adegan perang, meskipun sekaran tersebut biasanya diletakkan di bagian belakang sesudah perang. Contoh yang lain; dua orang penari duduk tanpa perubahan irama jadi lambat.
Empat orang penari berhadap-hadapan, menghunus cundrik dan maju ke depan sampai berkumpul di pusat panggung, pada saat itulah kendang diganti kendang ciblon dan musik beralih ke ③ untuk adegan perang. Memakai kendang ciblon yang bervariasi ritme dan suara untuk mengiringi adegan perang merupakan ciri khas srimpi gaya keraton Yogyakarta. Di keraton Surakarta, ciblon tidak dipakai untuk mengiringi tari putri (srimpi dan bedhaya), kemudian musik tidak beralih pada saat bermula adegan perang di dalam hampir semua kasus.
Sesudah memasuki adegan perang dalam karya ini, suasana berubah sama sekali dan menjadi penuh ketegangan, karena suara kendang ciblon terus terdengar dan tempo laya cepat dan lambat bergantian. Perang mencolok mata, karena sering terjadi pertempuran; tusuk-tangkis sambil penari menggelar pola lantai yang berkembang tanpa pengulangan. Dua pasang penari melawan pasangan masing-masing dengan gaya keraton Yogyakarta, lalu semua orang berjalan ke samping (=enjer) dalam lingkaran sambil menendang ujung kain samparan setiap langkah dengan gaya puro Mangkunegaran, kemudian penari menjadi garis yang disebut jejer wayang…dsb.
Dalam tari srimpi ini tidak ada adegan “sirep” yang jelas. Ini juga menambah ketegangan. Sebagai prinsip koreografi tari srimpi, ada menang kalahnya akibat perang, dan penari yang menang mengelilingi penari yang kalah, yaitu yang duduk, pada saat itulah volume musik turun sekaligus iramanya jadi lambat seolah-olah gunung api yang menjadi “sirep” (=dipadamkan). Adegan perang - sirep diulangi 2 kali dan yang duduk bergantian. Sebaliknya penari “Catur Sagotro” tidak jenuh bertarung tanpa “sirep” padahal ada dua saat pada waktu mana kedua penari duduk dan yang lain melintasi ruang secara simetri titik.
Adegan perang selesai, penari memasukkan cundrik dan duduk jengkeng. Lain dengan tradisi tari keraton Surakarta, penari tidak kembali ke tempat semula sebelum duduk maupun tidak melakukan sembahan bersama pukul gong terakhir musik induk (②~③). Sesudah musik ④ dimulai, penari baru pindah ke tempat semula dengan laku dodok, yang dilakukan abdi dalem keraton dalam upacara keraton, kemudian melakukan sembahan bersama pukul gong pertama musik ①, lalu berdiri. Laku dodok selama 1 menit cukup lama dalam karya 15 menitan ini, namun demikian laku dodok beserta sembahan sebelum berdiri berfungsi baik untuk mendinginkan suasana kembali tenang. Penari mundur sambil mengipas dengan dadap, bagaikan mereka sudah diluncuti senjata.
Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa srimpi “Catur Sagotro” tidak bergaya keraton/pura yang tertentu, juga tidak menuruti kebiasaan (atau formula) koreografi tari srimpi. Ini berarti pencipta karya ini sudah tidak lagi terikat dengan filosofi keraton/pura masing-masing. Bahkan beliau lebih memfokuskan pada keindahan koreografi itu sendiri.
Menurut pandangan saya, bagian perang (musik③) lebih mengesankan dan sempurna dalam hal penataan gerak, dibandingkan dengan bagian beksan (musik②). Di bagian perang, dari satu sekaran (=satu rangkaian gerak) ke sekaran lain mengalir lancar, meskipun iramanya cepat dan koreografinya cukup rumit. Maka karya ini berwatak gagah dan maskulin, dan berenergi galak. Saya tidak bisa menahan perasaan bahwa Sulistyo marah dan berjuang terhadap sesuatu, mungkin untuk keluar dari belenggu tradisi seni tempat lahir.
5. Properti dan Busana
Properti (dadap) dan busana untuk karya tersebut menuruti gaya tari srimpi Keraton Surakarta; memakai kain batik samparan (menyeret ujung kain yang panjang). Mengenai dadap, setiap penari membawa dadap yang dipasangi kulit berbentuk empat lambang keraton/puro masing-masing (※Foto 2).
Foto 2: Penari yang membawa dadap khas srimpi "Catur Sagotro"

(Foto oleh Rury Avianti)
Kini, “Catur Sagotro” dipentaskan dengan baju rompi dari beludru bersulam emas dan memakai jamang logam yang menirukan model gaya Puro Mangkunegaran (※foto 1). Busana ini dirancang oleh Iwan Tirta (alm); perancang busana batik supaya bisa digunakan untuk tari srimpi dan bedhaya apa pun. Namun demikian, Jamang mewah dari logam itu, yang mengingatkan saya helm perang, tampaknya sangat cocok dengan karya tari Sulistyo yang mengambarkan begitu banyak adegan perang, malah menambah kegagahan pada para penari yang bersenjata (cundrik dan dadap) dan ketajaman pada banyak gerakan serta pola lantai yang linier.
Sebenarnya busana asli yang dipikirkan pencipta tari tesebut sangat sederhana; penari berbaju rompi polos, melilitkan samir di lehernya (※gambar 1) seperti ampil-ampil (gadis-gadis yang membawa benda-benda pusaka mengiringi raja waktu upacara besar) di Keraton Yogyakarta ― selain itu motif sampur; cinde juga gaya Keraton Yogyakarta ―, sedangkan rambut ditata dengan gaya rambut gadis di Kraton Surakarta; rambut kepang ditekuk di belakangnya dan dihiasi dengan pita, bulu, cunduk mentul, dan sisir (※gambar 2). Ini karena pencipta yang belum ternama di Jakarta tidak mampu menyediakan busana mewah. Busana asli itu memberi kesan lebih kegadis-gadisan, tetapi mungkin sesuai dengan umur penari pada tahun 1970an. Saya merasa tema dan watak karya “Catur Sagotro” disempurnakan dengan busana yang dirancang Iwan Tirta.
Gambar1: Penari melilitkan samir di lehernya. (gambar oleh Sulistyo Tirtokusumo)

Gambar2: Tata Rambut Penari (gambar oleh Sulistyo Tirtokusumo)

6. Perkembangan Makna Karya
Pada tahun 1988, Sulistyo bertugas sebagai sutradara delegasi tari dari DKI Jakarta yang dikirim ke Tokyo karena munculnya gagasan kota kembar Jakarta – Tokyo. Ketua delegasi tersebut menentukan konsep “catur sagotro” yang ditawarkan Sulistyo sebagai simbol perpaduan budaya, dan melibatkan semua raja(*6) dari keraton/puro Jawa untuk mengunjungi kota tempat Kaisar berada. Inilah untuk pertama kali semua raja Jawa pergi ke luar negeri bersama. Sulistyo merasa sekedar nama acara atau konsep karya dapat berfungsi di dunia nyata, padahal karya tari tersebut tidak ada hubungan dengan delegasi ini.
Pada tahun 2007, Ibu Nani Soedarsono (alm), mantan menteri social membuat program kegiatan seni yang bernama Catur Sagotro untuk keluarga dan kerabat keempat keraton/puro yang menetap di Jakarta, kemudian mendirikan sebuah komunitas/ikatan yang bernama yang sama untuk mewadahinya, untuk memenuhi pesan lama dari Paku Buwono XII (alm). Upacara komunitas tersebut selalu dibuka oleh sajian karya tari srimpi “Catur Sagotro” berdasarkan ide dari Ibu Nani, dan Sulistyo diminta mengizinkannya oleh beliau sendiri. Sejak saat itulah karya tari srimpi “Catur Sagotro” diakui sebagai lambang/ikon kesatuan keempat keraton/puro Jawa. Ternyata karya tersebut sudah menvisualisasikan tujuan komunitas tersebut, namun hal itu tidak sama sekali ditujukan pencipta karyanya dari awal.
*6 raja Keraton Surakarta (Sri Susuhunan Paku Buwono XII), raja Keraton Yogyakarta (Sri Sultan Hamengku Buwono IX), dan raja Puro Mangkunegaran (Sri Mangkunagoro IX). Sebenarnya raja Paku Alaman (Paku Alam VIII) sekaligus wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidak berangkat karena harus tinggal di dalam negeri saat raja Keraton Yogyakarta sekaligus gubernur DIY berada di luar negeri sesuai dengan peraturan DIY.
※Essay ini ditulis dan diunggah di blogsite ini mulai tgl.31 Januari 2021 dan selesai tgl.26 Maret 2021.Foto 2 diupload tgl 29 Maret 2021.
参考映像/Video Karya
"Tari Srimpi Catur Sagotra Nusantara"
2017/06/30, RM Gatot Pramono
https://www.youtube.com/watch?v=zaMrbfyHvig
"Catur Sagotro - Sulistyo Tirtokusumo"
Video Tutorial 2005
https://www.youtube.com/watch?v=FIwuNTakkgQ&t=286s
Saya menulis catatan ini berdasarkan pada wawancara kepada Bapak KP Sulistyo Tirtokusumo.
“Srimpi Catur Sagotro”, sebuah karya tari Jawa yang ditarikan oleh 4 orang penari perempuan, diciptakan oleh Sulistyo Tirtokusumo di Jakarta sebagai karya pertama pada tahun 1973 waktu beliau berusia 20 tahun.
Foto 1: Busana "Catur Sagotro" yang dirancang oleh Iwan Tirta

foto: GELAR
1. Koreografer
Sulistyo Tirtokusumo lahir di Surakarta pada tahun 1953. Sejak kecil beliau berguru tari kepada RM Wignyohambekso, kemudian RT Kusumokesowo dari tahun 1969 sampai tahun 1971. Di bawah RT Kusumokesowo, beliau memeran tokoh Rama di dalam Ramayana Ballet (yang dimulai pada tahun 1961) dan terlibat dalam Festival Ramayana Nasional di Prambanan (1970) kemudian Festival Ramayana Internasional di Pandaan, Jawa Timur (1971). Pada tahun 1971 beliau pindah ke Jakarta untuk mengambil kuliah. Di Jakarta, beliau aktif menari sebagai penari putra alus sekaligus melatih tari di sanggar Bharawidya yang dikelola oleh kakaknya; Keliek Sukajadi.
Beliau menghasilkan berbagai karya tari tradisi maupun kontemporer. Karya bentuk tradisi yang populer adalah, srimpi “Catur Sagotro” (1973), bedhaya “Kirono Ratih” (1981) yang dipentaskan untuk pertama kali dengan judul “Renggo Puspito”, dan bedhaya “Suryasumirat” (1990) yang pertama kali dipersembahkan di Puro Mangkunegaran dalam pernikahan agung K.G.P.A.A Mangkunegara IX, dsb.
2. Konsep Karya “Catur Sagotro”
”Catur Sagotro” berarti empat serumpun. Judul tersebut diambil dari nama acara pertunjukan & pameran yang disaksikan oleh Sulistyo di Pagelaran di Keraton Yogyakarta pada tahun 1970. Acara tersebut dilaksanakan secara giliran oleh 4 keraton Jawa, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura Pakualaman. Jelas sekali nama acara tersebut melambangkan kesatuan 4 kraton keturunan kerajaan Mataram. 4 keraton tersebut mengeluarkan tarian yang memiliki gayanya masing-masing. Hal itu menkagetkan beliau karena beliau belum pernah melihat tarian yang berbeda dengan gaya Kasunanan.
Suatu hari pada tahun 1973, saat beliau dengar “Ldr. Mijil Wigarintyas”, di benak beliau muncul pemandangan acara 3 tahun lalu sekaligus ide untuk menyusun tari srimpi dengan gerakan dari keempat gaya keraton; yang bukan sekedar mosaik atau tambal-tambalan tetapi yang terpadu. Demikian dihasilkan karya “Catur Sagotro”.
3. Latar Belakang Berkarya
Sulistyo menghasilkan karya ini karena ada kebutuhan serta kesempatan. Beliau ingin menambah repertoire tari putri ―karena hampir semua murid tari Jawa merupakan perempuan―, memiliki karya original sekaligus meningkatkan kualitas kepenarian supaya sanggarnya bisa dapat lebih banyak kesempatan pentas. Restoran Ramayana di dalam Hotel Indonesia, tempat sangar-sanggar tari tradisi Jawa bersaing di Jakarta pada tahun 1970-an, yang meminta sanggar-sanggar untuk menampilkan karya tari setiap malam Minggu secara giliran. Bharawidya juga dapat jatah kurang-lebih sebulan sekali. Di situlah karya “Catur Sagotro” dipentaskan untuk pertama kali dan direvisi untuk seterusnya.
Apa yang mengherankan saya adalah Sulistyo menghasilkan karya yang berbentuk srimpi seawal tahun 1973, karena pada tahun 1969/1970, Keraton Surakarta baru mengizinkan masyarakat umum untuk mempelajari tari srimpi dan bedhaya yang dimiliki keraton Surakarta(*1) atas permohonan proyek nasional yang disebut PKJT=Pusat Kesenian Jawa Tengah. PKJT menggali dan menghasilkan 1 pemadatan tari bedhaya dan 5 pemadatan tari srimpi antara tahun 1969 dan 1972(*2), sedangkan tidak menghasilkan karya baru sampai tahun 1972(*3). Srimpi baru tidak dihasilkan oleh PKJT tetapi oleh penerusnya; “Srimpi Manggala Retna” (1983)(*4) oleh Pak Ngaliman kemudian “Srimpi Jayaningsih” (1992) oleh Sunarno Purwolelono(*5).
Sekitar tahun 1973, Sulistyo yang tinggal di Jakarta sempat belajar kedua tari srimpi; “Srimpi Sangupati” dan “Srimpi Ludira Madura” dalam versi pemadatan PKJT dari teman di Surakarta, tetapi belum berguru pada Ibu Laksmintorukmi dan Pak Ngaliman dari Solo. Hal-hal yang tersebut di atas menunjukkan bahwa menciptakan karya tari baru yang berbentuk srimpi (maupun bedhaya) bukan hal yang biasa sampai sekarang dan Sulistyo berkarya tanpa pengaruh dari nara sumber yang besar apalagi di luar lingkungan PKJT. Dengan kata lain, pada tahun 1970an, “Catur Sagotro” merupakan karya terkemuka di bidang tari srimpi dan bedhaya.
Dalam proyek PKJT, tari keraton yang berdurasi sekitar 1 jam dalam versi asli dipadatkan menjadi kurang lebih 15 menit supaya bisa dipentaskan dalam berbagai kesempatan. Selain itu, tempo yang dipercepat dan dinamika yang ditambahkan ke musik serta gerak supaya bisa memikat perhatian kaum pemuda. Tari “Catur Sagotro”, yang lahir di kota metropolitan sebagai seni pertunjukan, berkembang menuju klimaks dengan tempo cepat selaras dengan kecenderungan yang ada dalam masa PKJT/tahun 1970an.
*1 kecuali tari Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan dalam upacara penobatan raja serta peringatan penobatan raja
*2 Bedhaya Pangkur (1969), Srimpi Anglir Mendhung (1969), Srimpi Ludira Madura (1970), Srimpi Gondokusumo (1970), Srimpi Sangupati (1971), dan Srimpi Sukarsih (1972)
*3 Bedhaya Ela-Ela (1972)
*2&*3 Tasman, A.Ronoatmodho. 1995. Bedhaya Ela-Ela. STSI Press Surakarta.
*4 “This dance, Serimpi Manggala Retna, was created in 1973 and revised and perfected in 1983.”
Prihatini, Nanik Sri. 2017. “The Role of Aesthetic Authority in the Surakarta Style Serimpi Dance”. Asian Journal of Social Sciences & Humanities. Vol. 6(4).p.1
*5 [Prihartini 2017: 12]
4. Koreografi
Sulistyo kelahiran Surakarta berdasarkan pada gaya tari serta karawitan dari keraton Surakarta. Empat orang penari wanita membawa dadap (semacam tameng) di tangan kiri dan memakai cundrik (keris, badik) di depan puser. Di Keraton Surakarta pernah ada tari putri yang membawa dadap;“Bedhaya Kabor”, tetapi sudah punah.
Susunan iringan tari adalah sebagai berikut. Maju beksan dengan ①ladrang laras pelog “Gati Langen Bronto” (musik instrumental, 2 menit), pada waktu mana penari masuk dan duduk di lantai. Bagian beksan (=tari) dimulai dengan ②ketawang “Mijil Wigaringtyas” (musik vokal, 5.5 menit) dan dilanjutkan ③srepeg “Kemuda” untuk adegan perang sampai duduk jengkeng (4.5 menit). Waktu ④pathetan dimulai, penari kembali ke tempat semula dengan laku dodok(=berjalan jongkok) (1 menit). Musik untuk mundur beksan sama dengan yang untuk maju beksan =① (2 menit), pada waktu mana penari berdiri dan mundur.
Musik ① dan ② digunakan untuk “Bedhaya Bedah Madiun” di Puro Mangkunegaran. Sulistyo belum dapat menonton waktu itu, tetapi pernah mendengarkan rekaman musiknya. Mengenai musik ②, beliau cukup kenal karena Ibu Retna Maruti sering menembangnya dalam karya tari sendiri.
Seirama dengan suara snare drum yang ditambahkan ke musik maju beksan (①) sesuai dengan kebiasaan di Keraton Yogyakarta, empat orang penari keluar seperti mars tentara dengan gagahnya, membawa dadap di tangan kanan pada ketinggian bahu, dan memegang kain samparan di tangan kanan seperti dilakukan dalam tari Srimpi Anglirmendhung di Pura Mangkunegaran.
Dengan buka musik ②, seorang penari yang paling depan berdiri dan menarikan serangkaian gerak yang diambil dari “Srimpi Anglirmendhung”, disusul tiga orang penari yang berdiri. Pada musik ②, gerakannya lembut, luwes dan sangat gaya Surakarta, namun ada beberapa unsur baru dalam koreografinya. Satu contoh di dalam “Catur Sagotro”; sekaran pendapan (nama serangkaian gerak) ditarikan dengan musik ② di bagian depan sebelum adegan perang, meskipun sekaran tersebut biasanya diletakkan di bagian belakang sesudah perang. Contoh yang lain; dua orang penari duduk tanpa perubahan irama jadi lambat.
Empat orang penari berhadap-hadapan, menghunus cundrik dan maju ke depan sampai berkumpul di pusat panggung, pada saat itulah kendang diganti kendang ciblon dan musik beralih ke ③ untuk adegan perang. Memakai kendang ciblon yang bervariasi ritme dan suara untuk mengiringi adegan perang merupakan ciri khas srimpi gaya keraton Yogyakarta. Di keraton Surakarta, ciblon tidak dipakai untuk mengiringi tari putri (srimpi dan bedhaya), kemudian musik tidak beralih pada saat bermula adegan perang di dalam hampir semua kasus.
Sesudah memasuki adegan perang dalam karya ini, suasana berubah sama sekali dan menjadi penuh ketegangan, karena suara kendang ciblon terus terdengar dan tempo laya cepat dan lambat bergantian. Perang mencolok mata, karena sering terjadi pertempuran; tusuk-tangkis sambil penari menggelar pola lantai yang berkembang tanpa pengulangan. Dua pasang penari melawan pasangan masing-masing dengan gaya keraton Yogyakarta, lalu semua orang berjalan ke samping (=enjer) dalam lingkaran sambil menendang ujung kain samparan setiap langkah dengan gaya puro Mangkunegaran, kemudian penari menjadi garis yang disebut jejer wayang…dsb.
Dalam tari srimpi ini tidak ada adegan “sirep” yang jelas. Ini juga menambah ketegangan. Sebagai prinsip koreografi tari srimpi, ada menang kalahnya akibat perang, dan penari yang menang mengelilingi penari yang kalah, yaitu yang duduk, pada saat itulah volume musik turun sekaligus iramanya jadi lambat seolah-olah gunung api yang menjadi “sirep” (=dipadamkan). Adegan perang - sirep diulangi 2 kali dan yang duduk bergantian. Sebaliknya penari “Catur Sagotro” tidak jenuh bertarung tanpa “sirep” padahal ada dua saat pada waktu mana kedua penari duduk dan yang lain melintasi ruang secara simetri titik.
Adegan perang selesai, penari memasukkan cundrik dan duduk jengkeng. Lain dengan tradisi tari keraton Surakarta, penari tidak kembali ke tempat semula sebelum duduk maupun tidak melakukan sembahan bersama pukul gong terakhir musik induk (②~③). Sesudah musik ④ dimulai, penari baru pindah ke tempat semula dengan laku dodok, yang dilakukan abdi dalem keraton dalam upacara keraton, kemudian melakukan sembahan bersama pukul gong pertama musik ①, lalu berdiri. Laku dodok selama 1 menit cukup lama dalam karya 15 menitan ini, namun demikian laku dodok beserta sembahan sebelum berdiri berfungsi baik untuk mendinginkan suasana kembali tenang. Penari mundur sambil mengipas dengan dadap, bagaikan mereka sudah diluncuti senjata.
Dari uraian di atas, bisa dikatakan bahwa srimpi “Catur Sagotro” tidak bergaya keraton/pura yang tertentu, juga tidak menuruti kebiasaan (atau formula) koreografi tari srimpi. Ini berarti pencipta karya ini sudah tidak lagi terikat dengan filosofi keraton/pura masing-masing. Bahkan beliau lebih memfokuskan pada keindahan koreografi itu sendiri.
Menurut pandangan saya, bagian perang (musik③) lebih mengesankan dan sempurna dalam hal penataan gerak, dibandingkan dengan bagian beksan (musik②). Di bagian perang, dari satu sekaran (=satu rangkaian gerak) ke sekaran lain mengalir lancar, meskipun iramanya cepat dan koreografinya cukup rumit. Maka karya ini berwatak gagah dan maskulin, dan berenergi galak. Saya tidak bisa menahan perasaan bahwa Sulistyo marah dan berjuang terhadap sesuatu, mungkin untuk keluar dari belenggu tradisi seni tempat lahir.
5. Properti dan Busana
Properti (dadap) dan busana untuk karya tersebut menuruti gaya tari srimpi Keraton Surakarta; memakai kain batik samparan (menyeret ujung kain yang panjang). Mengenai dadap, setiap penari membawa dadap yang dipasangi kulit berbentuk empat lambang keraton/puro masing-masing (※Foto 2).
Foto 2: Penari yang membawa dadap khas srimpi "Catur Sagotro"

(Foto oleh Rury Avianti)
Kini, “Catur Sagotro” dipentaskan dengan baju rompi dari beludru bersulam emas dan memakai jamang logam yang menirukan model gaya Puro Mangkunegaran (※foto 1). Busana ini dirancang oleh Iwan Tirta (alm); perancang busana batik supaya bisa digunakan untuk tari srimpi dan bedhaya apa pun. Namun demikian, Jamang mewah dari logam itu, yang mengingatkan saya helm perang, tampaknya sangat cocok dengan karya tari Sulistyo yang mengambarkan begitu banyak adegan perang, malah menambah kegagahan pada para penari yang bersenjata (cundrik dan dadap) dan ketajaman pada banyak gerakan serta pola lantai yang linier.
Sebenarnya busana asli yang dipikirkan pencipta tari tesebut sangat sederhana; penari berbaju rompi polos, melilitkan samir di lehernya (※gambar 1) seperti ampil-ampil (gadis-gadis yang membawa benda-benda pusaka mengiringi raja waktu upacara besar) di Keraton Yogyakarta ― selain itu motif sampur; cinde juga gaya Keraton Yogyakarta ―, sedangkan rambut ditata dengan gaya rambut gadis di Kraton Surakarta; rambut kepang ditekuk di belakangnya dan dihiasi dengan pita, bulu, cunduk mentul, dan sisir (※gambar 2). Ini karena pencipta yang belum ternama di Jakarta tidak mampu menyediakan busana mewah. Busana asli itu memberi kesan lebih kegadis-gadisan, tetapi mungkin sesuai dengan umur penari pada tahun 1970an. Saya merasa tema dan watak karya “Catur Sagotro” disempurnakan dengan busana yang dirancang Iwan Tirta.
Gambar1: Penari melilitkan samir di lehernya. (gambar oleh Sulistyo Tirtokusumo)

Gambar2: Tata Rambut Penari (gambar oleh Sulistyo Tirtokusumo)

6. Perkembangan Makna Karya
Pada tahun 1988, Sulistyo bertugas sebagai sutradara delegasi tari dari DKI Jakarta yang dikirim ke Tokyo karena munculnya gagasan kota kembar Jakarta – Tokyo. Ketua delegasi tersebut menentukan konsep “catur sagotro” yang ditawarkan Sulistyo sebagai simbol perpaduan budaya, dan melibatkan semua raja(*6) dari keraton/puro Jawa untuk mengunjungi kota tempat Kaisar berada. Inilah untuk pertama kali semua raja Jawa pergi ke luar negeri bersama. Sulistyo merasa sekedar nama acara atau konsep karya dapat berfungsi di dunia nyata, padahal karya tari tersebut tidak ada hubungan dengan delegasi ini.
Pada tahun 2007, Ibu Nani Soedarsono (alm), mantan menteri social membuat program kegiatan seni yang bernama Catur Sagotro untuk keluarga dan kerabat keempat keraton/puro yang menetap di Jakarta, kemudian mendirikan sebuah komunitas/ikatan yang bernama yang sama untuk mewadahinya, untuk memenuhi pesan lama dari Paku Buwono XII (alm). Upacara komunitas tersebut selalu dibuka oleh sajian karya tari srimpi “Catur Sagotro” berdasarkan ide dari Ibu Nani, dan Sulistyo diminta mengizinkannya oleh beliau sendiri. Sejak saat itulah karya tari srimpi “Catur Sagotro” diakui sebagai lambang/ikon kesatuan keempat keraton/puro Jawa. Ternyata karya tersebut sudah menvisualisasikan tujuan komunitas tersebut, namun hal itu tidak sama sekali ditujukan pencipta karyanya dari awal.
*6 raja Keraton Surakarta (Sri Susuhunan Paku Buwono XII), raja Keraton Yogyakarta (Sri Sultan Hamengku Buwono IX), dan raja Puro Mangkunegaran (Sri Mangkunagoro IX). Sebenarnya raja Paku Alaman (Paku Alam VIII) sekaligus wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidak berangkat karena harus tinggal di dalam negeri saat raja Keraton Yogyakarta sekaligus gubernur DIY berada di luar negeri sesuai dengan peraturan DIY.
※Essay ini ditulis dan diunggah di blogsite ini mulai tgl.31 Januari 2021 dan selesai tgl.26 Maret 2021.Foto 2 diupload tgl 29 Maret 2021.
参考映像/Video Karya
"Tari Srimpi Catur Sagotra Nusantara"
2017/06/30, RM Gatot Pramono
https://www.youtube.com/watch?v=zaMrbfyHvig
"Catur Sagotro - Sulistyo Tirtokusumo"
Video Tutorial 2005
https://www.youtube.com/watch?v=FIwuNTakkgQ&t=286s
2021年03月05日 (金)
※English follows Japanese.
2010年にマニラで発表したコラボレーション作品の映像(出演者記録)が見つかりました。この度、関係者各位の了解が取れましたので、youtubeに公開しました。説明は後の英文の方が詳しいです。API Fellowship(日本財団)を受給した日本人フェロー4人とゲストにより、同フェローシップ10周年記念のイベントの一環として、画廊内で発表されました。タイトルの『クロスオーバーラップ』は「クロスオーバー」と「オーバーラップ」を掛け合わせた造語です。
上演は朝9:30~1:00までの間に、3回行われました。映像では観客は腰を下ろして集中して見ていますが、パフォーマー側としては、他の展示を見ている途中で上演の方をちらっと見たり、会場の他の展示物からの音が聞こえてきたらそちらに関心を移したり…というような鑑賞のされ方を想定していました。
『クロスオーバーラップ』
舞踊・音楽パフォーマンス
2010年5月30日
フィリピン、マニラ市
アテネオ・デ・マニラ大学、アテネオ・アート・ギャラリーにて
"Crossoverlap"
dance and music performance
30 May 2010
at Ateneo Art Gallery, Ateneo de Manila University
in Manila, the Philippines
https://www.youtube.com/watch?v=xGTvzVuQvZ4
This is the private documentary of the performers & the composer of "Crossoverlap", performed in the exhibition –Creative Index-, a part of the 10th Anniversary Regional Celebration of the API Fellowships Program, funded by The Nippon Foundation.
It was assumed viewers would sometimes glance at this performance while looking at other exhibits and hearing other sounds from some of them in this gallery.
●CONCEPT
All the elements are stirring, changing, crossoverlapping each other as the patterns appear on the surface of the water.
This work is a kind of installation using dance and music inspired by the specific situation. The dancers were trained in traditional ways of Javanese and Thai dance, while the violinist was trained in western way and the music was composed based on contemporary thoughts and techniques. Through their bodies that experienced "Asian", "traditional", "Western" and "contemporary" performances, the expressions based on these cultures crossover and overlap unexpectedly. All of this "crossoverlap" make changes the patterns appears on the surface of the water.
● PERFORMERS :
Takako Iwasawa / 岩澤孝子 (dancer : based on Thai dance)*
Michi Tomioka / 冨岡三智 (dancer : based on Javanese dance)*
Kaori Fushiki / 伏木香織 (percussion)*
Criselda Peren (violin : guest musician, Ateneo alumna)
● COMPOSER:
Motohide Taguchi / 田口雅英*
* Japanese API Fellows
この公演については、過去にブログ記事で紹介しています。
➡ 5/27-31 マニラへ API Fellowship10周年記念式典
また、高橋悠治氏のサイト『水牛』2010年7月号でもこの作品に関するエッセイを書いています。
➡ クロスオーバーラップ


2010年にマニラで発表したコラボレーション作品の映像(出演者記録)が見つかりました。この度、関係者各位の了解が取れましたので、youtubeに公開しました。説明は後の英文の方が詳しいです。API Fellowship(日本財団)を受給した日本人フェロー4人とゲストにより、同フェローシップ10周年記念のイベントの一環として、画廊内で発表されました。タイトルの『クロスオーバーラップ』は「クロスオーバー」と「オーバーラップ」を掛け合わせた造語です。
上演は朝9:30~1:00までの間に、3回行われました。映像では観客は腰を下ろして集中して見ていますが、パフォーマー側としては、他の展示を見ている途中で上演の方をちらっと見たり、会場の他の展示物からの音が聞こえてきたらそちらに関心を移したり…というような鑑賞のされ方を想定していました。
『クロスオーバーラップ』
舞踊・音楽パフォーマンス
2010年5月30日
フィリピン、マニラ市
アテネオ・デ・マニラ大学、アテネオ・アート・ギャラリーにて
"Crossoverlap"
dance and music performance
30 May 2010
at Ateneo Art Gallery, Ateneo de Manila University
in Manila, the Philippines
https://www.youtube.com/watch?v=xGTvzVuQvZ4
This is the private documentary of the performers & the composer of "Crossoverlap", performed in the exhibition –Creative Index-, a part of the 10th Anniversary Regional Celebration of the API Fellowships Program, funded by The Nippon Foundation.
It was assumed viewers would sometimes glance at this performance while looking at other exhibits and hearing other sounds from some of them in this gallery.
●CONCEPT
All the elements are stirring, changing, crossoverlapping each other as the patterns appear on the surface of the water.
This work is a kind of installation using dance and music inspired by the specific situation. The dancers were trained in traditional ways of Javanese and Thai dance, while the violinist was trained in western way and the music was composed based on contemporary thoughts and techniques. Through their bodies that experienced "Asian", "traditional", "Western" and "contemporary" performances, the expressions based on these cultures crossover and overlap unexpectedly. All of this "crossoverlap" make changes the patterns appears on the surface of the water.
● PERFORMERS :
Takako Iwasawa / 岩澤孝子 (dancer : based on Thai dance)*
Michi Tomioka / 冨岡三智 (dancer : based on Javanese dance)*
Kaori Fushiki / 伏木香織 (percussion)*
Criselda Peren (violin : guest musician, Ateneo alumna)
● COMPOSER:
Motohide Taguchi / 田口雅英*
* Japanese API Fellows
この公演については、過去にブログ記事で紹介しています。
➡ 5/27-31 マニラへ API Fellowship10周年記念式典
また、高橋悠治氏のサイト『水牛』2010年7月号でもこの作品に関するエッセイを書いています。
➡ クロスオーバーラップ


2021年03月02日 (火)
高橋悠治氏のサイト『水牛』の
「2021年3月」(水牛のように)コーナーに、
「ワヤン(影絵)の思い出」を寄稿しました。
ワヤン(影絵)の思い出
冨岡三智
そういえば、ここでインドネシアのワヤン(影絵)について書いたことがない。私は特にワヤンの愛好家でもないが、ジャワの舞踊や文化を知る上では見ておいた方が良いと思っていたので、留学中や留学前から機会があれば見に行った。と言っても、ワヤンの村祭りのような雰囲気が好きなだけで、内容や言葉についてはあまり勉強しなかったが…。というわけで、今回はインドネシアで見たワヤンのうち印象深いものについて書いてみよう。
●1994年3月22日(火) アノムスロトの家で見たワヤン
まだ留学前、2週間ほどスラカルタに行った時のこと、有名なダラン(影絵奏者)のアノムスロトが毎月(ジャワ暦で35日毎)自宅でワヤンをやっていると宿の人が教えてくれて、見に行った。当時はどういう趣旨でやっているものか全然知らなかったが、かなり後になって、アノムスロトが後進への指導のためルギの水曜日(彼の誕生曜日)になる夜に自宅でワヤンをしていたと知った。今調べると、その日はルギの水曜日になる夜なので、その一環だったのだろう。私が見た時の演目はブロトセノ(キャラクター名)の話だった。見に来ていた人の多くはワヤン好きの近隣の人という感じだった。子供もいたし、私の隣には不倫カップルと思しき中年の男女もいて、女性が男性に膝枕してもらって見ていたのを覚えている。突然行った私も入れてもらえ、絨毯敷きの床に座って一晩見た。全然意味は分からなかったが、一晩のワヤンてどういうものだろう…という好奇心だけで、頑張って見た気がする。
●1996年5月16日 仏教のワヤン
スラカルタ王宮のシティヒンギルという空間で見る。仏教の祭日であるワイサックを祝うイベントで、ワヤンの前に仏教徒の大学生たちによる仏教テーマの舞踊が上演された。ダランはテジョ何とかという人。何枚か撮った写真を見る限り、ワヤンの人形などは普通のワヤンと同じだったようだ。
●1998年2月20日 ルワタン・ヌガラ
ルワタン・ヌガラとは国家的な災厄を祓う儀礼という意味。このワヤンについては、『水牛』2008年3月号「スハルト大統領の芸術」で紹介したことがある。当時のインドネシアはアジア通貨危機に端を発する経済危機に見舞われ、また、スハルト長期政権に対する人々の批判も高まっていた。その時期に、スハルト大統領は全国各地で(確か50ヶ所くらい)ルワタンと称してして「ロモ・タンバック」という演目を上演させた。これは『ラーマヤナ』物語の中で、ラーマがアルンコ国に渡るためにサルの援軍の助けを借りて川を堰とめるという内容である。スハルトはクジャウィン(ジャワ神秘主義)の師から自身はラーマに当たるとされていたため、この国家的災厄をラーマたる自分自身の手で乗り切ることを示す意図があったのだろうと感じられる。スラカルタではグドゥン・ワニタ(婦人会館)で、女性の女性問題担当国務大臣を迎えて上演された。ダランは3人、演奏は芸大で、有名どころの歌手がズラーッと並んだ。ワヤンの導入部ではスカテン(ジャワ王家のイスラム行事で演奏される音楽)をアレンジした壮大な曲が演奏された。
●2000年10月28日 ワヤン・ゲドグ
ブンガワン・ソロ・フェアというイベントの一環としてマンクヌガラン王宮で上演される。ダランはバンバン・スワルノで、彼は同王家付きのワヤン・ゲドグのダランであり、芸大教員でもある。演目はパンジ物語を題材とする『ジョコ・ブルウォ』。ワヤン・ゲドグというのはパンジ物語やダマルウラン物語を題材とする演目群である。現在ではワヤン(影絵)やワヤン・オラン(舞踊劇)の演目のほとんどはマハーバーラタ物語で、私もパンジ物語の演目を見たのはこの時しかない。当初の話では2時間短縮版ということだったが、4時間以上の上演だった。実は、ワヤン・ゲドグではグンディン・タル(影絵開始前に上演される曲)として宮廷舞踊『スリンピ・スカルセ』で使われる一連の曲が演奏される。
●2000年大晦日 ミレニアム・ワヤン
2001年は1000年に一度のミレニアム・イヤーというわけで、スラカルタにあるタマン・ブダヤ(州立芸術センター)のプンドポ(伝統的なオープンなホール、儀礼用)ではいつもとは違う特別のワヤンがあった。一晩のワヤンなのだが、夜中の0時に一時中断して、各公認宗教の長たちが集まって祈りを捧げ、続いて詩人のレンドラが登場してガムラン音楽をバックに詩を朗誦した。この音楽を担当したのはデデッ・ワハユディだが、ワヤンのようにレンドラを登場させるイメージで音楽をつけたとのこと。そして、ワヤンのダランはトリストゥティ。実はこの人、1965年9月30日事件(共産党によるクーデター未遂事件と公称される)で投獄されて14年間島流しとなり、釈放後の20年間も活動ができなかったが、スハルト退陣により1999年からダランとして再活動できるようになったという人である。スハルトはこの事件をきっかけに頭角を現し、30年余の軍事独裁政権を敷いた。今調べたところでは、トリストゥティはスカルノ大統領の尊敬を受けてしばしば招聘されていたが、共産党とは関係がなかったという。ところで、このミレニアムという概念はそもそもキリスト教のものだが、当時のインドネシアではこれまでのスハルト時代の終焉と自由の時代の到来に対する希望が託されていたように思う。
●2001年1月20日 クリスマスのワヤン・ワハユ
インドネシア国立芸術大学スラカルタ校のプンドポで見る。年が改まったがクリスマスに付随するイベント。ワヤン・ワハユはキリスト教の聖書を題材にしたワヤンのこと。ダランは同芸大教員のスボノで、彼はクリスチャン。芸大と隣の3月11日大学(=UNS)のクリスチャンの集まりが主催だったが、上演の最後にキリスト教関係の催しでの上演承ります~!と宣伝していたことが印象に残っている。
●2002年3月31日 集団ルワタン
ウォノギリ県にあるガジャ・ムンクルという人造湖畔にある観光施設で行われた集団厄払いのワヤンである。地元の若い人に伝統文化に触れてもらうため、また観光誘致用に行われたもので、集団ルワタン以外にマンクヌガラン王家による宝物巡行や、人々が家宝にしているクリス(剣)のお清めサービスが行われた。ちなみにマンクヌガラン王家が協力しているのは、ウォノギリが元々同王家の領地だから。ルワタンの方だが、キ・ワルシノというルワタンができる家系のダランによって行われた。厄除けされる人たち(自治体に参加申し込みをする)の人数が多いという以外は普通のルワタンと同じで、多くの供物を用意して昼間に行われ、時間も長くはない。ダランは祭司としてルワタン用のワヤン演目を上演し、最後にマントラを唱えて、厄払いを受ける人たちの髪に順次鋏を入れていく。ここではその髪を白い布に包み、湖に沈めて儀式は終了した。私がワヤンのために遠出をしたのはこの時だけで、ダランと懇意な知人に一緒に行ってもらった。
●2007年8月26日 ジャカルタ新知事を迎えてのワヤン
ジャカルタ市政62周年&ジャカルタ知事選挙の成功を祝してのワヤンで、新ジャカルタ知事(ファウジ・ボウォ)と副知事を主賓として開催されたワヤン。ダランはマンタップ、演目は「Sesaji Raja Suya」と記録にある。王への捧げものという感じの意味のようで、新知事を祝福するにふさわしい演目に見える。実はこの日、私はジャカルタ芸術大学でたまたまスリンピの公演をしていた(私自身のプロジェクト)。スラカルタの芸大教員3人と上演したのだが、私がジャカルタに来ることを知った人からこの公演にVIPとして招待されたのである。その人とはこの公演の少し前の8月16日夜に放映されたトーク番組『キック・アンディ』に出演した時に知り合った(番組収録は8月1日)。というわけで、私は公演が夕方に終わって共演者を駅に送ってからワヤン会場に直行した(開始ぎりぎりに滑り込み)。一応、新知事とも握手をしたのだが、夜の12時頃から新聞社での取材があったので、11時過ぎに会場を抜けた。
「2021年3月」(水牛のように)コーナーに、
「ワヤン(影絵)の思い出」を寄稿しました。
ワヤン(影絵)の思い出
冨岡三智
そういえば、ここでインドネシアのワヤン(影絵)について書いたことがない。私は特にワヤンの愛好家でもないが、ジャワの舞踊や文化を知る上では見ておいた方が良いと思っていたので、留学中や留学前から機会があれば見に行った。と言っても、ワヤンの村祭りのような雰囲気が好きなだけで、内容や言葉についてはあまり勉強しなかったが…。というわけで、今回はインドネシアで見たワヤンのうち印象深いものについて書いてみよう。
●1994年3月22日(火) アノムスロトの家で見たワヤン
まだ留学前、2週間ほどスラカルタに行った時のこと、有名なダラン(影絵奏者)のアノムスロトが毎月(ジャワ暦で35日毎)自宅でワヤンをやっていると宿の人が教えてくれて、見に行った。当時はどういう趣旨でやっているものか全然知らなかったが、かなり後になって、アノムスロトが後進への指導のためルギの水曜日(彼の誕生曜日)になる夜に自宅でワヤンをしていたと知った。今調べると、その日はルギの水曜日になる夜なので、その一環だったのだろう。私が見た時の演目はブロトセノ(キャラクター名)の話だった。見に来ていた人の多くはワヤン好きの近隣の人という感じだった。子供もいたし、私の隣には不倫カップルと思しき中年の男女もいて、女性が男性に膝枕してもらって見ていたのを覚えている。突然行った私も入れてもらえ、絨毯敷きの床に座って一晩見た。全然意味は分からなかったが、一晩のワヤンてどういうものだろう…という好奇心だけで、頑張って見た気がする。
●1996年5月16日 仏教のワヤン
スラカルタ王宮のシティヒンギルという空間で見る。仏教の祭日であるワイサックを祝うイベントで、ワヤンの前に仏教徒の大学生たちによる仏教テーマの舞踊が上演された。ダランはテジョ何とかという人。何枚か撮った写真を見る限り、ワヤンの人形などは普通のワヤンと同じだったようだ。
●1998年2月20日 ルワタン・ヌガラ
ルワタン・ヌガラとは国家的な災厄を祓う儀礼という意味。このワヤンについては、『水牛』2008年3月号「スハルト大統領の芸術」で紹介したことがある。当時のインドネシアはアジア通貨危機に端を発する経済危機に見舞われ、また、スハルト長期政権に対する人々の批判も高まっていた。その時期に、スハルト大統領は全国各地で(確か50ヶ所くらい)ルワタンと称してして「ロモ・タンバック」という演目を上演させた。これは『ラーマヤナ』物語の中で、ラーマがアルンコ国に渡るためにサルの援軍の助けを借りて川を堰とめるという内容である。スハルトはクジャウィン(ジャワ神秘主義)の師から自身はラーマに当たるとされていたため、この国家的災厄をラーマたる自分自身の手で乗り切ることを示す意図があったのだろうと感じられる。スラカルタではグドゥン・ワニタ(婦人会館)で、女性の女性問題担当国務大臣を迎えて上演された。ダランは3人、演奏は芸大で、有名どころの歌手がズラーッと並んだ。ワヤンの導入部ではスカテン(ジャワ王家のイスラム行事で演奏される音楽)をアレンジした壮大な曲が演奏された。
●2000年10月28日 ワヤン・ゲドグ
ブンガワン・ソロ・フェアというイベントの一環としてマンクヌガラン王宮で上演される。ダランはバンバン・スワルノで、彼は同王家付きのワヤン・ゲドグのダランであり、芸大教員でもある。演目はパンジ物語を題材とする『ジョコ・ブルウォ』。ワヤン・ゲドグというのはパンジ物語やダマルウラン物語を題材とする演目群である。現在ではワヤン(影絵)やワヤン・オラン(舞踊劇)の演目のほとんどはマハーバーラタ物語で、私もパンジ物語の演目を見たのはこの時しかない。当初の話では2時間短縮版ということだったが、4時間以上の上演だった。実は、ワヤン・ゲドグではグンディン・タル(影絵開始前に上演される曲)として宮廷舞踊『スリンピ・スカルセ』で使われる一連の曲が演奏される。
●2000年大晦日 ミレニアム・ワヤン
2001年は1000年に一度のミレニアム・イヤーというわけで、スラカルタにあるタマン・ブダヤ(州立芸術センター)のプンドポ(伝統的なオープンなホール、儀礼用)ではいつもとは違う特別のワヤンがあった。一晩のワヤンなのだが、夜中の0時に一時中断して、各公認宗教の長たちが集まって祈りを捧げ、続いて詩人のレンドラが登場してガムラン音楽をバックに詩を朗誦した。この音楽を担当したのはデデッ・ワハユディだが、ワヤンのようにレンドラを登場させるイメージで音楽をつけたとのこと。そして、ワヤンのダランはトリストゥティ。実はこの人、1965年9月30日事件(共産党によるクーデター未遂事件と公称される)で投獄されて14年間島流しとなり、釈放後の20年間も活動ができなかったが、スハルト退陣により1999年からダランとして再活動できるようになったという人である。スハルトはこの事件をきっかけに頭角を現し、30年余の軍事独裁政権を敷いた。今調べたところでは、トリストゥティはスカルノ大統領の尊敬を受けてしばしば招聘されていたが、共産党とは関係がなかったという。ところで、このミレニアムという概念はそもそもキリスト教のものだが、当時のインドネシアではこれまでのスハルト時代の終焉と自由の時代の到来に対する希望が託されていたように思う。
●2001年1月20日 クリスマスのワヤン・ワハユ
インドネシア国立芸術大学スラカルタ校のプンドポで見る。年が改まったがクリスマスに付随するイベント。ワヤン・ワハユはキリスト教の聖書を題材にしたワヤンのこと。ダランは同芸大教員のスボノで、彼はクリスチャン。芸大と隣の3月11日大学(=UNS)のクリスチャンの集まりが主催だったが、上演の最後にキリスト教関係の催しでの上演承ります~!と宣伝していたことが印象に残っている。
●2002年3月31日 集団ルワタン
ウォノギリ県にあるガジャ・ムンクルという人造湖畔にある観光施設で行われた集団厄払いのワヤンである。地元の若い人に伝統文化に触れてもらうため、また観光誘致用に行われたもので、集団ルワタン以外にマンクヌガラン王家による宝物巡行や、人々が家宝にしているクリス(剣)のお清めサービスが行われた。ちなみにマンクヌガラン王家が協力しているのは、ウォノギリが元々同王家の領地だから。ルワタンの方だが、キ・ワルシノというルワタンができる家系のダランによって行われた。厄除けされる人たち(自治体に参加申し込みをする)の人数が多いという以外は普通のルワタンと同じで、多くの供物を用意して昼間に行われ、時間も長くはない。ダランは祭司としてルワタン用のワヤン演目を上演し、最後にマントラを唱えて、厄払いを受ける人たちの髪に順次鋏を入れていく。ここではその髪を白い布に包み、湖に沈めて儀式は終了した。私がワヤンのために遠出をしたのはこの時だけで、ダランと懇意な知人に一緒に行ってもらった。
●2007年8月26日 ジャカルタ新知事を迎えてのワヤン
ジャカルタ市政62周年&ジャカルタ知事選挙の成功を祝してのワヤンで、新ジャカルタ知事(ファウジ・ボウォ)と副知事を主賓として開催されたワヤン。ダランはマンタップ、演目は「Sesaji Raja Suya」と記録にある。王への捧げものという感じの意味のようで、新知事を祝福するにふさわしい演目に見える。実はこの日、私はジャカルタ芸術大学でたまたまスリンピの公演をしていた(私自身のプロジェクト)。スラカルタの芸大教員3人と上演したのだが、私がジャカルタに来ることを知った人からこの公演にVIPとして招待されたのである。その人とはこの公演の少し前の8月16日夜に放映されたトーク番組『キック・アンディ』に出演した時に知り合った(番組収録は8月1日)。というわけで、私は公演が夕方に終わって共演者を駅に送ってからワヤン会場に直行した(開始ぎりぎりに滑り込み)。一応、新知事とも握手をしたのだが、夜の12時頃から新聞社での取材があったので、11時過ぎに会場を抜けた。
| ホーム |